Bahlil dan Ingatan Kolektif tentang Bencana

JAKARTA, TANIFAKTUAL.COM – Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Dr. Anggawira, menyampaikan penjelasan komprehensif mengenai sikap dan pendekatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam menangani bencana banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra. Menurut Anggawira, tindakan cepat dan penuh empati yang ditunjukkan Bahlil bukanlah strategi pencitraan, melainkan refleksi dari pengalaman hidup yang sangat personal dan mendalam, Sabtu (6/12/2025).

Dalam pernyataan resminya, Anggawira mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat mungkin belum mengetahui bahwa Bahlil merupakan korban erupsi gunung meletus di Banda, Maluku, pada masa kecilnya. Ia pernah merasakan langsung bagaimana kehilangan tempat tinggal, berlari menyelamatkan diri bersama keluarga, serta menyaksikan kerusakan lingkungan yang membentuk cara pandangnya hingga dewasa.

“Bahlil tumbuh dari kondisi bertahan hidup. Ia mengalami sendiri bagaimana rasanya ditinggalkan oleh keadaan dan betapa gentingnya ketika negara belum hadir. Ingatan itu membekas kuat dan membentuk empati yang otentik, bukan empati seremonial,” jelas Anggawira.

Ia menambahkan bahwa pengalaman itu menjadi fondasi moral bagi Bahlil dalam setiap langkah kebijakan, terutama yang menyangkut keselamatan rakyat.

Anggawira juga menceritakan kembali pengalamannya mendampingi Bahlil dalam kunjungan ke Banda pada tahun 2020. Perjalanan tersebut memberikan gambaran mendalam mengenai jejak trauma masa lalu yang memengaruhi cara Bahlil melihat bencana.

“Ketika kami berada di Banda, Bahlil menunjukkan satu per satu titik yang hancur ketika gunung meletus. Ceritanya disampaikan dengan nada datar, tapi jelas menyimpan beban emosi yang besar. Saat itu saya memahami bahwa baginya, bencana bukan sekadar data atau laporan, melainkan memori eksistensial,” ungkap Anggawira.

Bahlil kembali menunjukkan respons yang kuat ketika banjir melanda Sumatra. Ia turun langsung ke lokasi, berdialog dengan masyarakat, serta memastikan seluruh aspek teknis penanganan bencana berjalan tanpa hambatan.

Dalam kunjungan tersebut, Bahlil mengarahkan jajarannya untuk memastikan:

Pemulihan listrik dalam waktu cepat agar aktivitas warga dapat terbantu.

Distribusi logistik dilakukan tanpa jeda.

Infrastruktur dasar segera diperbaiki.

Aparat teknis dan dukungan negara tetap berada di lokasi hingga kondisi benar-benar pulih.

“Negara tidak boleh datang lalu pergi. Kehadiran harus dirasakan, bukan sekadar terlihat,” tegas Bahlil kepada jajaran di lapangan.

Salah satu momen yang menjadi sorotan publik adalah ketika seorang ibu korban banjir memeluk Bahlil sambil menangis. Menurut Anggawira, momen itu menggambarkan kedekatan emosional antara pemimpin yang pernah menjadi korban bencana dengan masyarakat yang sedang mengalami kehilangan.

Anggawira juga menanggapi munculnya narasi publik yang mengaitkan banjir di Sumatra dengan kebijakan pertambangan di bawah kepemimpinan Bahlil sebagai Menteri ESDM. Menurutnya, kritik adalah hal wajar, namun harus berbasis data dan sejarah kebijakan.

“Puncak kerusakan lingkungan di Sumatra telah terjadi jauh sebelum era Bahlil. Deforestasi terbesar terjadi ketika izin-izin tambang dan land clearing dikeluarkan tanpa pengawasan ketat bertahun-tahun lalu. Menyematkan seluruh kesalahan struktural tersebut kepada kebijakan reformis beberapa tahun terakhir tidak hanya keliru, tetapi juga menyesatkan,” tegas Anggawira.

Ia menambahkan bahwa di era Bahlil pemerintah justru:

Mencabut ratusan izin tambang bermasalah,

Memperkuat jaminan reklamasi dan pascatambang,

Mengetatkan standar lingkungan,

Menata ulang proses perizinan agar lebih akuntabel.

“Arah kebijakan hari ini bergerak menuju keseimbangan antara investasi dan perlindungan lingkungan. Negara belajar dari kesalahan masa lalu, sama seperti negara-negara dari Norwegia hingga Kanada,” ujar Anggawira.

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya memberikan pujian terbuka atas kinerja Bahlil dalam momentum HUT Partai Golkar. Anggawira menilai pujian tersebut bukan semata gestur politik, tetapi penilaian atas kerja konkret yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Presiden melihat kerja, bukan retorika. Dalam isu bencana, kerja itu artinya hadir cepat, mengambil keputusan tegas, dan memotong birokrasi yang memperlambat penyelamatan rakyat,” tambahnya.

Anggawira menegaskan bahwa ingatan personal Bahlil sebagai penyintas bencana kini berubah menjadi kompas moral dalam menjalankan tugas negara. Ia menyebut bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak pernah melupakan rasa sakit masa lalu dan menjadikannya landasan dalam melindungi rakyat.

“Ingatan kolektif tentang bencana seharusnya bukan alat untuk saling menyalahkan, melainkan peringatan agar kesalahan yang sama tidak terulang. Dan Bahlil adalah contoh pemimpin yang menjadikan pengalaman pribadinya sebagai energi moral untuk memastikan negara hadir dalam situasi paling sulit warganya,” tutup Anggawira.

(Emed Tarmedi)

Bagikan Artikel

Artikel Lainnya

NASIONAL

Berita Pilihan

Kunjungi Kami

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Pemerintahan

Berita Populer